Penyambutan penyanyi dangdut Saipul Jamil usai keluar dari Lapas Kelas 1 Cipinang, Jakarta Timur, Kamis, (02/09).

Source : https://www.kompasiana.com/mtf3lix5tr/61388dd10101903149110a62/saiful-jamil-kemiskinan-moral-dan-kekangan-moral?page=1&page_images=1

"Glorifikasi" bebasnya penyanyi dangdut Saipul Jamil - dari penyambutan di depan penjara lengkap dengan kalung bunga hingga menjadi bintang tamu di televisi - mendapat kritik tajam dari beragam kalangan.

"Reaksi pengenyahan atau cancel culture terhadap Saipul Jamil adalah sanksi sosial untuk pemulihan dan penegakan moralitas di ruang publik" -Felix Tani

Seandainya tidak ada "pesta selamat datang" (welcome party) untuk Saipul Jamil selepas dari penjara.  Ya, seandainya tidak ada kalungan bunga.  Tidak ada tunggangan sedan merah kap terbuka.  Tidak ada liputan stasiun televisi swasta.  Tidak ada ekspose kontrak eksklusif siaran televisi.   Maka sangat mungkin tidak ada "reaksi pengenyahan" (cancel culture) dari publik.

Seandainya Saipul bersikap "tahu diri",  lalu diam menata diri seperti Nazril Irham, maka perlahan-lahan dia pasti bisa "diterima" kembali di ruang publik.  "Diterima", dalam tanda petik.  Sebab publik telah melekatkan stigma "amoral" padanya.  Karena kejahatannya dulu mencabuli seorang anak lelaki di bawah umur.

Untuk kejahatannya itu, Saipul telah menjalani hukuman "setimpal", 5 tahun penjara. Dikurang masa tahanan dan remisi, maka per 2 September 2021 dia bebas dari penjara untuk kasus pencabulan itu.  Tambahan 3 tahun penjara karena dakwaan penyuapan terhadap panitera pengadilan, masih menunggu putusan PK dari MA.

Tapi 5 tahun di dalam penjara agaknya tak cukup bagi Saipul untuk pengayaan moralnya. Pada hari pertama dia keluar dari LP Cipinang, dia langsung mempertontonkan "kemiskinan moral".  Sehingga mengundang "kekangan moral berupa "reaksi pengenyahan" dari publik.

Kemiskinan Moral:  Defisit Empati Sosial dan Kekang Moral Individual

Pada saat Saipul berkalung karangan bunga, lalu berdiri merentangkan tangan di atas sedan merah, pada saat itulah dia mempertontonkan gejala defisit empati sosial.  

Bisa dipastikan dia tak memikirkan sama sekali perasaan korban pencabulannya.  Tak memikirkan perasaan keluarga korban.  Dan tak memikirkan "perasaan publik" atas kejahatannya di masa lalu.

Dia tak berpikir bahwa korban dan keluarganya, dengan trauma yang mungkin masih tersisa, bisa saja merasa terlecehkan lagi karena laku arogansinya.

Dia juga tak berpikir bahwa, dengan arogansinya itu, publik merasa dilecehkan juga. Sebab publik memiliki memori kolektif tentang pencabulan yang dilakukannya. Publik juga memiliki ekspektasi "pertobatan" pada dirinya, sekurangnya dalam wujud perilaku "tahu diri". Menahan diri dari perayaan dan euforia.

Laku Saipul itu dapat disebut gejala defisit empati sosial. Dan itu adalah indikasi pertama kemiskinan moral sosial pada diri seseorang.

Defisit empati sosial berpangkal pada lemahnya kekang moral pada diri individu. Kekang moral (moral restraint), merujuk Thomas Malthus (1797), adalah kesadaran individu untuk berperilaku (pikir, sikap, tindak) selaras norma (cara, kebiasaan, tatalaku, adat) yang berlaku (diterima) secara umum. 

Ekspektasi normatif publik, mestinya Saipul tidak "merayakan" kebebasannya di ruang publik.  Mengingat dia dihukum penjara karena kasus amoral. Tindak pencabulan pada anak lelaki di bawah umur.  Perayaan itu telah melecehkan moral publik.

Lemahnya kekang moral adalah indikasi kedua untuk kemiskinan moral sosial pada diri seseorang.

Peristiwa "pesta selamat datang" itu, secara keseluruhan, bisa disimpulkan sebagai pemanggungan kemiskinan moral sosial pada diri seorang Saipul Jamil.


Reaksi Pengenyahan:  Wujud Kekang Moral Publik

Ujung pelecehan moral publik adalah "muak moral".  Suatu rasa sosial (social sense) penolakan pada kehadiran individu peleceh moral itu di ruang publik.  Entah itu lewat pemberiraan media cetak, media online, televisi, youtube, dan ragam medsos.

Bukan karena benci pada peleceh moral sebagai individu, tapi karena publik sudah tiba pada batas toleransi saat menyaksikan perilakunya yang defisit empati dan mebghina moralitas publik.  Itulah kini yang harus dialami oleh Saipul.

Memang dia sudah tuntas menjalani hukumannya. Tapi satu hal dia lupa. Hukuman penjara itu berpangkal pada hukum negara. Ada hukum lain yang hidup dalam masyarakat yaitu hukum sosial.  Sanksinya bukan penjara, tapi stigma dan kontrol sosial.

Itulah yang disebut antropolog Sally Falk-Moore sebagai  "ruang sosial semi-otonom". Ini hukum yang hidup dalam masyarakat, di ruang publik. Ia tak bisa diintervensi oleh hukum positif negara. Tujuannya untuk mengenakan kekang moral pada individu yang dinilai "lewat batas".  

"Reaksi pengenyahan" (cancel culture) yang kini ditujukan publik kepada Saipul adalah wujud  kekang moral dari publik. Itu terjadi di ruang sosial semi-otonom.  Tidak ada kuasa yang dapat menghentikannya.

Tujuannya tegas. Mengekang Saipul secara moral, agar menarik diri dari ruang publik. Dia dinilai telah melecehkan moral publik dan menciderai rasa sosial publik.  

Karena itu, dia harus "dienyahkan" dari ruang publik. Agar dia dapat menata diri sampai laik publik. Dengan begitu, suatu saat nanti, dia boleh lagi tampil di ruang publik. 

Reaksi pengenyahan itu tak terbatas pada Saipul seorang. Jika ada stasiun televisi atau podcast yang ngotot menampilkannya, maka mereka juga akan menjadi sasaran "reaksi pengenyahan".


Opini & Kritik saya

Tak seorang manusia pun bersih. Tidak juga saya. Tapi saya paham bahwa setiap orang dikaruniai dengan akal-budi, sebagai modal spritual untuk berikhtiar membenahi moralitasnya. Tak terkecuali Saipul Jamil.

Karena itu kepada Saipul harus diberi kesempatan menjalani ajar sosial, sebagai proses memperbaiki moralitasnya. Kesempatan itulah yang hendak diberikan melalui "reaksi pengenyahan" oleh publik. 

"Reaksi pengenyahan" itu adalah sanksi sosial dari hukum restitutif "ruang sosial semi-otonom". Tujuannya untuk pemulihan sosial bagi Saipul sendiri dan, sekaligus, pembersihan ruang publik dari "polusi amoralitas". 

Bagaimana ajar sosial atau pemulihan itu akan dijalani Saipul, tergantung pada dirinya sendiri. Bisa saja dia misalnya menjadi "donatur bisu"  bagi program pemulihan sosial dan psikologis anak-anak korban pencabulan. 

Bisa melakukan kegiatan sosial kobstruktif apa saja. Tapi janganlah mendadak jadi penyuluh anti-pencabulan anak. Juga janganlah mendadak jadi pengkotbah moralitas. Itu jalan pintas yang sarat kemunafikan.